November 7, 2008

Status MNCs dalam Hukum Internasional

By: Radityo Dharmaputra
(070517571)


Di era global saat ini, cukup sulit bagi seorang penstudi hukum internasional untuk mengategorikan kembali siapa-siapa sebenarnya yang merupakan subyek hukum internasional. Yang muncul kemudian adalah perdebatan mengenai status Multi-National Corporation (MNC) dalam hukum internasional. Sebagai aktor internasional, jelas bahwa di abad 21 sekarang ini, peran MNC amatlah besar. Dari peran yang besar inilah, bisa dianalisis beberapa pertanyaan berikut,

1. Apa sebenarnya MNC itu ?

2. Bagaimana peranannya dalam hubungan internasional kontemporer ?

3. Dengan peranan tersebut, perlukah MNC dikategorikan sebagai Subyek Hukum Internasional ?

Paling tidak dengan 3 pertanyaan tersebut akan membantu kita dalam menganalisis posisi MNC dalam Hukum Internasional.

Apa sebenarnya MNC itu ? Mengutip Nancy Mensh dalam tulisan Iman Prihandono (Prihandono, 2008), MNC adalah sebuah entitas yang melakukan kegiatan usaha di beberapa negara melalui cabang-cabang dan anak-anak perusahaannya di seluruh dunia (terutama di negara-negara berkembang) dimana kantor pusatnya terletak di negara-negara maju. Robert Kaplan mendefinisikan perusahaan multinasional sebagai sebuah perusahaan yang bergerak dalam bidang produksi secara internasional dan mendasarkan kebijakan manajemennya dengan basis aktivitas regional dan global (Savitsky & Burki, ). Dengan mendasarkan diri pada pengertian ini, maka nampak bahwa dalam hubungan internasional kontemporer memberikan ruang bagi Multi National Corporation untuk menjadi aktor yang cukup berperan.

Peranan MNC ini bisa dipandang dari banyak sisi. Nora Gotzmann, misalnya, berpendapat bahwa MNC di satu sisi berperan untuk meningkatkan standar hidup masyarakat dan menciptakan kesejahteraan lewat adanya pekerjaan, pendidikan, dan teknologi. Walaupun begitu, Gotzmann berpendapat pula bahwa MNC juga berperan aktif dalam pelanggaran HAM dan melakukan tindakan kriminal (Gotzmann, 2008).

Karsten Nowrot, seorang akademisi hukum di Jerman, menganggap bahwa MNC saat ini telah menjadi aktor penting dalam hubungan internasional. Ia menunjukkan bahwa dalam segi pembuatan aturan pun, MNC sudah mulai banyak berperan. Dalam kasus Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS), Nowrot menganggap peran MNC amat vital untuk mendorong terciptanya penghargaan terhadap hak-hak intelektual. Selain itu, Nowrot juga menyoroti bagaimana peran MNC terkadang amat vital dalam negosiasi-negosiasi penyelesaian konflik di World Trade Organization (WTO). Namun, seperti yang diungkapkan Gotzmann, Nowrot juga menyadari bahwa walalupun di satu sisi MNC dapat mendorong terciptanya kesejahteraan, namun disisi lain merupakan ancaman bagi kesejahteraan itu sendiri, terutama di bidang lingkungan hidup, masalah buruh, dan kondisi sosial masyarakat di suatu negara tempat MNC itu melakukan kegiatannya (Nowrot, 2008).

Dari dua pandangan diatas, kita bisa melihat bahwa MNC telah diakui merupakan aktor internasional yang amat berpengaruh. Namun, di satu sisi, kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh MNC juga memiliki dampak buruk yang tidak kalah besarnya, seperti kerusakan lingkungan, masalah ketenagakerjaan, hubungan antara MNC dengan negara tuan rumah, dan masalah-masalah penyediaan standar sosial lainnya. Kondisi ini memunculkan gagasan-gagasan agar MNC dapat diatur agar memiliki international legal personality, atau dengan kata lain dianggap sebagai subyek hukum internasional. Hal ini penting, sebab, menurut Nancy Mensh, MNC memiliki pengaruh amat besar secara ekonomi terhadap negara-negara tuan rumahnya (terutama negara berkembang) dan secara tidak langsung MNC mengambil alih kewenangan negara terkait dengan penyediaan fasilitas publik seperti transportasi dan telekomunikasi (Prihandono, 2008).

Nowrot juga berpendapat sama, dimana ia beranggapan bahwa untuk mencegah pelanggaran-pelanggaran oleh MNC terkait masalah lingkungan dan HAM maka perlu dilakukan suatu upaya untuk memasukkan MNC ke dalam suatu tatanan hukum internasional, agar ia juga ”berkontribusi” dalam penciptaan dan pelaksanaan hukum internasional (Nowrot, 2008). Frank Olah juga menyatakan bahwa beberapa ahli menginginkan adanya status yang lebih jelas sebagai subyek hukum bagi MNC (terutama dalam bidang HAM) dikarenakan MNC memiliki dana yang cukup besar untuk memberikan kompensasi bagi para korban, nama besar MNC selalu menarik perhatian dunia, dan wilayah tempat beroperasinya MNC biasanya menjadi tempat kejadian perkara pelanggaran terhadap HAM (Olah, 2006).

Dengan melihat beberapa alasan diatas, tidak bisa dipungkiri bahwa banyak ahli menginginkan MNC, secara langsung maupun tidak, dikekang dalam sebuah aturan hukum internasional yang kemudian bisa membatasi pelanggaran-pelanggaran yang dilakukannya. Namun, disisi lain, banyak pula ahli yang berpendapat bahwa MNC tidak bisa diposisikan sebagai subyek hukum internasional (Prihandono, 2008). Ini dikarenakan subyek hukum internasional yang kuat dan dainggap sebagai subyek hukum selama ini adalah negara. Negara, sebagai suatu kesatuan politik, tidak ingin posisinya yang selama ini kuat, disamakan dengan MNC.

Secara logis, negara adalah pihak yang berada pada posisi tidak diuntungkan dalam relasinya dengan MNC. Seperti yang diungkapkan Mensh, selain amat dipengaruhi secara ekonomi oleh MNC-MNC yang bergerak di wilayahnya, wewenang negara juga seakan terbagi kepada MNC. Hal ini misalnya, tampak jelas dalam kasus beberapa MNC di Indonesia. Sebut saja beberapa MNC yang ada di negara ini seperti Exxon Mobile dan Freeport. Pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh kedua perusahaan tadi seakan ditutup-tutupi oleh pemerintah. MNC juga memiliki pengaruh amat besar terhadap pengambilan kebijakan pemerintah Indonesia, seperti pada saat penentuan siapa yang akan mengelola Blok Cepu. Pada saat itu, peemrintah sedang didesak untuk memberikan wewenang pengelolaan Cepu kepada Pertamina, agar aset berharga tersebut tetap dikuasai oleh negara. Akan tetapi, kedatangan salah satu petinggi AS saat itu, Menlu AS Condoleezza Rice, mengubah situasi dan kondisi mental para pejabat kita, dan akhirnya memenangkan Exxon sebagai partner Pertamina dalam mengelola Blok Cepu.

Oleh karena beberapa kasus diatas, penulis beranggapan bahwa karena peranannya yang begitu besar dan amat berpengaruh, maka untuk kebaikan semua pihak, MNC seharusnya perlu dipertimbangkan untuk dijadikan sebagai subyek hukum internasional. Dalam hal ini, penulis sependapat dengan Nowrot, yang menganggap MNC perlu dijadikan subyek hukum internasional agar mereka secara sadar ikut berkontribusi dalam penciptaan hukum internasional. Ini akan amat penting bila kita melihat fakta bahwa sekarang ini banyak MNC yang sudah melakukan perjanjian-perjanjian dengan negara.

Kriteria untuk menjadi subyek hukum internasional adalah yang bersangkutan merupakan pemegang hak dan kewajiban menurut hukum. Kemudian terdapat pula kriteria bahwa yang bersangkutan memiliki priviledge untuk bersidang dihadapan Mahkamah Internasional, dan juga memiliki kepentingan-kepentingan yang dilindungi oleh hukum internasional. Dari beberapa kasus yang diberikan diatas, MNC sebenarnya sudah hampir dianggap memiliki priviledge. Dalam kasus WTO, MNC bahkan terlibat secara nyata dan aktif menciptakan negosiasi-negosiasi antara mereka dengan negara. Selain itu, kepentingan MNC yang tersebar di seluruh dunia juga telah dan perlu dilindungi oleh hukum internasional. Ini dikarenakan mereka secara langsung dan tidak langsung berdampak pada kebutuhan orang banyak. Sesuai dengan prinsip Hukum Internasional yang bertujuan menciptakan keteraturan dan kesejahteraan, maka MNC perlu diikutsertakan mengingat mereka memiliki pengaruh dan peran amat besar dalam kedua hal tersebut.

Alasan lain yang mendasari perlunya MNC dijadikan sebagai subyek hukum internasional adalah agar mereka tidak saja diberikan hak dan kewajiban namun juga memiliki beban moral dan terikat secara penuh dalam pembuatan hukum. Ini amat penting untuk menciptakan kesejajaran antara MNC dengan negara. Selain karena perannya yang sekarang bisa bersejajaran dengan negara, ini juga bisa digunakan untuk mengikat MNC agar tidak melakukan tindakan-tindakan yang melanggar kedaulatan negara. Dengan memberikan posisi yang bersejajaran dengan negara, maka MNC diberikan kewenangan yang sama untuk berkontribusi dalam penciptaan hukum internasional. Konsekuensinya adalah, peraturan-peraturan dan hukum yang ada akan lebih mengikat kepada mereka. Pelanggaran terhadapnya akan berimplikasi pemberian sanksi dan hukuman yang lebih jelas dan lebih berat serta mengikat.

Walaupun begitu, banyak pihak yang memang menolak memberikan posisi sebaagi subyek hukum internasional kepada MNC. Ini terutama dipelopori oleh negara-neagra yang tidak ingin melihat MNC memiliki posisi yang setara dengan negara dan memiliki kewenangan hukum yang sama pula. Namun, sebenarnya kekhawatiran ini dilandaskan pada kegagalan negara-negara itu sendiri menjaga kedaulatan dan kewenangan mereka di wilayahnya. Tak bisa dipungkiri bahwa dalam masa-masa yang akan datang, MNC memegang peranan yang amat penting dalam politik maupun ekonomi global. Proses globalisasi yang terus terjadi justru seharusnya dimanfaatkan oleh negara melalui MNC dan TNC (Trans National Corporation). Negara bisa memanfaatkan MNC untuk menyejahterakan warganya, dan dengan menjadikan MNC sebagai subyek hukum internasional, maka negara paling tidak mengikat MNC kedalam perjanjian internasional yang ada dan menghindarkan diri dari pelanggaran-pelanggaran yang selaam ini biasa dilakukan MNC.

Dengan melihat beberapa pandangan diatas, maka penulis berkesimpulan bahwa MNC perlu dijadikan sebagai subyek hukum internasional karena dengan begitu mereka akan memiliki ikatan yang lebih kuat dengan hukum dan aturan yang ada. Yang menjadi masalah adalah keengganan negara-bangsa sebagai subyek hukum internasional yang selama ini dianggap lebih kuat untuk memberikan posisi itu kepada MNC. Memang selama ini, MNC bisa cukup dikendalikan lewat instrumen-instrumen yang telah ada seperti perjanjian-perjanjian internasional dan organisasi internasional yang ada. Namun, melihat tren selama ini, dimana banyak perkara, terutama yang berkaitan dengan Hak Asasi Manusia dan lingkungan hidup, dilanggar dengan mudahnya oleh MNC dan dibiarkan saja oleh negara tuan rumah dan negara asal MNC. Oleh karena itu, menurut penulis, amat penting untuk dicari instrumen-instrumen baru bagi pemberian status international legal personality kepada MNC. Keberadaan MNC yang semakin berpengaruh dan memainkan peranan penting di dunia mau tidak mau memaksa setiap pihak mengkaji kembali status MNC dalam Hukum Internasional.

Sebagai akhir tulisan ini, penulis ingin mengingatkan bahwa perdebatan perlu tidaknya MNC dijadikan sebagai subyek hukum internasional akan terasa kurang lengkap tanpa adanya pandangan langsung dari MNC-MNC itu sendiri. Penulis beranggapa, ada baiknya jika perwakilan MNC diberikan kesempatan untuk mengungkapkan keinginan mereka terhadap status hukum mereka sendiri.

1 comment:

Anonymous said...

LuckyClub Casino Site - The Lucky Club
If you are a fan of luckyclub.live casino games, you have come to the Lucky Club Casino and you should be familiar with this brand-new slot machine. This brand-new slot