November 12, 2008

MNCs sebagai Subyek Hukum Internasional

By: Annisa Pratamasari
(070610057)

Menurut Nancy L. Mensch, Multi National Corporations atau MNCs dapat didefinisikan sebagai entitas yang melakukan kegiatan usaha di beberapa negara melalui cabang-cabang dan anak-anak perusahaannya di seluruh dunia (terutama di negara-negara berkembang) dimana kantor pusatnya terletak di negara-negara maju. (Prihandono, 2008).

Peranan MNCs (Multinational Corporation) di dalam konteks politik global saat ini merupakan sesuatu yang tidak dapat lagi terbantahkan. Perusahaan multinasional ini menggurita hingga ke pelosok negara-negara berkembang. ladang usahanya bervariasi dari bidang-bidang privat hingga publik. Kekayaan sebuah perusahaan multinasional saja dapat melebihi kekayaan suatu negara berkembang. Namun keberadaan MNCs sendiri menimbulkan suatu paradoks. Di satu sisi, keberadaan MNCs yang memiliki kekuatan ekonomi raksasa sangat dibutuhkan oleh negara-negara berkembang untuk menyokong dan mengakselerasi pertumbuhan ekonomi mereka dengan cara transfer teknologi, pembayaran pajak, hingga pembukaan lapangan pekerjaan. Namun di sisi lain, keberadaan MNCs justru membawa petaka bagi lingkungan hidup, memperbesar angka pelanggaran HAM, dan bahkan merugikan negara berkembang itu sendiri. Masih melekat di ingatan bangsa Indonesia bagaimana Exxon mengekploitasi kekayaan alam negeri ini dan memperbesar pundi kekayaan mereka sementara rakyat Indonesia tidak menikmati sedikitpun hasil kekayaan alamnya.

Keberadaan dan kebijakan-kebijakan MNCs ini secara nyata berpengaruh kepada kehidupan bernegara. MNCs dapat bergerak di bidang usaha yang menyangkut urusan publik seperti transportasi, listrik, hingga eksploitasi sumber daya alam. MNCs juga mampu membuat pemerintah negara host melonggarkan hukum nasional dan membuat kebijakan yang membuat MNCs lebih leluasa menjalankan usahanya meskipun hal tersebut dapat menciptakan ruang bagi MNCs untuk melakukan pelanggaran. Atas dasar itulah, para pakar hukum internasional mulai mempertimbangkan signifikansi MNCs sebagai salah satu subyek hukum internasional sehingga seluruh kegiatan MNCs akan diikat oleh hukum dan melalui hukum internasional pula, MNC dapat ditindak atas pelanggaran yang dilakukannya di negara host-nya. Pertanyaan lain kemudian muncul, perlukah MNCs mendapatkan status sebagai subyek hukum internasional?

Sebelum kita melangkah pada analisis mengenai apakah perlu MNCs diberi status sebagai subyek hukum internasional, sebaiknya kita melihat terlebih dahulu apakah subyek hukum internasional tersebut dan apa sajakah yang termasuk di dalamnya.

Menurut Mochtar Kusumaatmadja, subyek hukum internasional adalah pemegang segala hak dan kewajiban menurut hukum internasional (Mochtar, 1982). Dalam arti yang lebih luas, pengertian subyek hukum internasional itu mencakup pula keadaan-keadaan dimana yang dimiliki iu hanya hak-hak dan kewajiban yang terbatas (Mochtar, 1982). Sejauh ini, negara adalah pemegang predikat sebagai subyek hukum internasional penuh karena hubungan internasional lazimnya dilakukan di tingkat negara dan nature hukum internasional yang memang state-centric. Selain negara, takhta suci Vatikan, Palang Merah Internasional, organisasi internasional, serta orang perorangan juga termasuk dalam subyek hukum internasional. MNCs bukan lah subyek hukum internasional, mereka masih berstatus objek hukum internasional. Seperti telah disebutkan diatas, penggolongan MNCs sebagai subyek hukum internasional masih menimbulkan perdebatan. Walaupun MNCs terlibat aktif falam Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS) yang dirumuskan oleh WTO sebagai salah satu organisasi internasional, MNCs belumlah memiliki international legal personality (Nowrot, 20 ).

Kata international legal person atau legal personality berarti merujuk kepada badan atau organisasi atau perorangan yang “capable of possessing international rights and duties and endowed with the capacity to take certain types of action on the international plane.” (Duruigbo, 2008)

Bukankah MNCs merupakan organisasi internasional yang juga merupakan subyek hukum internasional? Dalam buku Clive Archer, International Organization, disebutkan bahwa MNCs, TNCs (Transnational Corporation), maupun MNEs (Multinational Enterprise) bukanlah termasuk organisasi internasional karena organisasi-organisasi tersebut berorientasi untuk mencari keuntungan.”.....it has been decided to keep in line with the Yearbook of International Organization and exclude profit-making organization from the description...

Nancy L. Mensch, berpendapat bahwa setidaknya terdapat dua alasan mengapa MNCs harus mempunyai tanggung jawab hukum internasional. Pertama, MNCsmempunyai pengaruh yang sangat kuat terhadap kegiatan ekonomi sebuah negara (terutama di negara berkembang) – bahkan kadang mampu memiliki kekuatan monopoli pasar dan kewenangan mengatur persyaratan kerja bagi buruh-buruhnya. Kedua, dibanyak negara berkembang, MNCs mengelola kegiatan usaha yang berhubungan dengan pelayanan publik seperti transportasi, tenaga listrik dan telekomunikasi – hal ini secara tidak langsung seperti memberikan sebagian dari kewenangan negara kepada MNCs. (Prihandono, 2008).

Ketiadaan aturan internasional yang mengikat MNCs menyebabkan MNCs mampu melepaskan diri dari tanggung jawab atas pelanggaran yang ia sebabkan. Apalagi jika negara yang dirugikan memilih mendiamkan saja ’kelakuan’ MNCs tersebut agar tidak terjadi kerugian ekonomi yang besar apabila MNCs tersebut berhenti beroperasi. Sebaliknya, apabila MNCs memiliki ketidak puasan pada negara mereka tidak dapat menggugat negara tersebut.

Agaknya, hal terakhir itulah yang membuat negara merasa ragu untuk melabeli MNCs sebagai subyek hukum internasional. Selama ini negara merupakan aktor utama dalam hubungan internasional, juga merupakan subyek hukum internasional penuh. Keberadaan MNCs yang memiliki kekuatan ekonomi raksasa membuat posisi tawar mereka berada di bawah MNCs, dan tentunya hal ini sangat merugikan mereka.

Namun demikian, memaksa MNCs untuk mematuhi hukum internasional bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan. Diperlukan keterlibatan secara aktif oleh MNCs sebagai pihak dalam proses penyusunan, perumusan, persetujuan, penandatangan sampai dengan pengawasan implementasinya (Prihandono, 2008). Hal ini akan sangat sulit dilakukan apabila MNCs merasa bahwa hukum yang akan diberlakukan tidak sejalan dengan kepentingan mereka sehingga mereka merasa tidak perlu melibatkan diri di dalamnya dan secara tidak langsung, mereka tidak harus mematuhi hukum internasional tersebut.

Usaha untuk mengikat MNCs telah dilakukan beberapa pihak melalui code of conduct yang bersifat sukarela (voluntary). Contohnya adalah The Coalition for Environmentally Responsible Economics yang merumuskan the CERES Principles.Dalam aturan ini dinyatakan sepuluh misi dan etika menyangkut kebijakan perusahaan terhadap lingkungan hidup, termasuk di dalamnya adalah kewajiban untuk secara periodik melaporkan pola-pola dan hasil dari kegiatan pengelolaan lingkungan hidupnya. Selain itu, ada pula Electronic Industry Code of Conduct (EICC).Berbeda dengan CERES yang menetapkan prinsip-prinsip, kesepakatan ini menetapkan code of best practices yang diadopsi dan dijalankan khusus oleh produsen elektronik dunia dan suplier-supliermereka. (Prihandono, 2008). PBB juga telah berusaha mengikat MNCs melalui sebuah Norms yang dikeluarkan oleh sub-komisi Hak Asasi Manusia. Namun sayangnya Norms ini tidak mendapat tanggapan serius dari organisasi internasional yang ada, bahkan Komisi HAM PBB pun tidak menyetujuinya. Atas dasar sifat sukarela code of conduct tersebut, banyak pendapat yang menyatakan bahwa hal itu tidaklah cukup untuk mengikat MNCs ke dalam hukum internasional.

Dari keseluruhan uraian di atas, menurut penulis, pengabsahan status MNCs sebagai subyek hukum internasional tidaklah perlu dilakukan. Penulis akui bahwa untuk mengikat MNCs dalam sebuah aturan hukum sehingga mereka dapat mempertanggung jawabkan kegiatan maupun pelanggaran yang mereka lakukan adalah suatu hal yang mutlak harus dilakukan. Implikasi pelanggaran MNCs yang berdampak masif pada negara host-nya tentulah bukan hal yang bisa diacuhkan begitu saja. Sebagai sebuah korporasi, MNCs sudah tentu harus memiliki tanggung jawab sosial kepada masyarakat dan lingkungan di sekitarnya. Aturan legal formal mutlak diperlukan.

Namun untuk memberi mereka status sebagai subyek hukum internasional, bukanlah hal yang perlu menurut penulis. Analisis ini didasarkan atas pertimbangan bahwa hukum nasional dan perjanjian atau kontrak antara negara yang bersangkutan dengan MNCs, sudah cukup untuk mengikat MNCs dalam aturan hukum. Bukankah asas utama perjanjian internasional adalah pacta sunt servada, yaitu kedua belah pihak harus mematuhi isi perjanjian? Tentunya dalam perjanjian atau kontrak tersebut telah terdapat kekuatan yang mengikat kedua belah pihak dan mengandung unsur hukum nasional negara home maupun negara host. Dengan catatan bahwa kedua hukum nasional harus benar-benar ditegakkan dan bukannya memberikan celah hukum bagi MNCs.

Namun para ahli hukum berpendapat bahwa hukum nasional saja tidak cukup untuk menjerat MNCs dan membuatnya mempertanggung jawabkan perbuatannya hingga aturan hukum internasional yang mengikat juga perlu dibuat sekaligus menjadikan MNCs sebagai subyek hukum internasional. Hal itu memang benar. Namun bukankah hukum internasional sendiri bersifat voluntary? Negara atau pihak yang tidak ikut menandatangani dan meratifikasi hukum tidak terikat dalam hukum tersebut dan tidak perlu mematuhi aturan-aturan yang ada. Apabila tidak semua MNCs secara sukarela mengikatkan diri dalam hukum tersebut, maka akan sia-sia saja aturan tersebut diadakan.

Selain itu, menurut penulis, pihak-pihak yang yang ada di dalam kancah politik global, baik state actors maupun non-state actors, akan bergerak sesuai dengan kepentingan masing-masing. Keikutsertaan dalam sebuah perjanjian mengikat maupun organisasi internasional tentunya dilandasi oleh kepentingan aktor tersebut. MNCs sebagai sebuah korporasi raksasa akan memiliki kepentingan-kepentingan mereka sendiri dan akan berusaha mencapai kepentingan tersebut. Maka apabila mereka merasa aturan hukum yang berlaku tidak sejalan dengan kepentingan mereka, mereka tidak akan rela mengikatkan diri dalam hukum yang ada. Bagi negara berkembang yang memiliki posisi tawar lebih rendah, membiarkan MNCs menjadi subyek hukum internasional yang leluasa mengajukan gugatan atas negara dan memiliki kekayaan ekonomi jauh melebihi mereka hanya akan merugikan mereka sendiri.

Namun penulis tidak memungkiri, bahwa seiring dengan kompleksitas politik global dan peningkatan peranan aktor-aktor non negara, MNCs akan diabsahkan sebagai subyek hukum internasional sejajar dengan negara dan organisasi internasional.

No comments: