November 12, 2008

Multinational Corporations: The New International Law’s Subject?

By: Shinta Yudhistia N
(070610287)

Subjek Hukum Internasional dan International Legal Personality

Negara adalah subjek hukum internasional yang utama, namun seiring perubahan yang terjadi dalam dunia internasional, subjek hukum internasional telah mengalami perkembangan. Subjek hukum internasional diartikan sebagai pemegang segala hak dan kewajiban menurut hukum internasional[1]. Subjek hukum internasional saat ini antara lain, negara, takhta suci, palang merah internasional, organisasi internasional, individu, dan pemberontak dan pihak dalam sengketa. Semua subjek hukum internasional ini selanjutnya dikatakan memiliki International Legal Personality.

Multinational Corporatioan as one of The Most Powerful Non-State Actors

Multinational Corporations (MNCs), term ini memilki beberapa definisi, yang pertama menandakan adanya internasionalisasi managemen dan kepemilikan saham tidak lagi berperan. Kedua, sebagian besar aktivitas MNCs telah melintasi batas kedaulatan negara. MNCs, tidak diragukan lagi merupakan aktor non-negara yang memiliki peran sangat besar dalam dunia internasional dan juga sangat kontroversial. Di satu sisi MNCs banyak memberikan manfaat baik bagi negara maupun masyarakat internasional, misalnya membantu membantu meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara bahkan dunia dengan cara membayar pajak, menyediakan lapangan pekerjaan, meningkatkan kualitas sumber daya manusia, mengolah sumber daya alam dan yang tidak kalah penting adalah menyediakan berbagai barang dan jasa yang sangat penting bagi pemenuhan kebutuhan manusia. Namun di sisi lain, tidak sedikit kritik yang dituai, MNCs dianggap bertanggung jawab terhadap kerusakan alam yang terjadi akibat eksploitasi yang berlebihan, selain itu juga eksploitasi terhadap negara dunia ketiga. Tak cukup di bidang ekonomi dan sosial, MNCs juga memiliki aktifitas politik yang cukup besar bahkan mampu menpengaruhi pemelihan kepala pemerintahan.

MNCs juga sering kali bermasalah dengan pelanggaran Hak Asasi Manusia, contoh kasus di Indonesia adalah Freport’s perusahaan milik Amerika Serikat itu dituduh telah melakukan serangkaian pelanggaran HAM, seperti kekerasaan, pembunuhan yang dilakukan oleh pihak keamanan mereka serta pengerusakan alam, sungai, gunung dan pembuangan limbah kimia berbahaya. Sementara di India tepatnya di kota Bhopal, Pabrik Union Carbide dituduh menyebabkan kematian 4000 orang dan melukai hampir setengah juta lainnya setelah terjadi kebocoran gas pestisida.. Kasus pelanggaran HAM serupa terjadi hampir di berbagai negara dengan MNCs di dalamnya.

Multinational Corporation dalam Hukum Internasional

Saat ini MNCs merupakan objek dari hukum internasional, fakta tersebut menandakan bahwa dia tidak memiliki international legal personality sehingga tidak memiliki standing untuk berperkara dalam International Court of Justice. MNCs merupakan subjek hukum nasional dari host country dan home country.

Perlukah Multinational Corporation memiliki International Legal Personality?

Dengan kata lain, menjadikan MNCs sebagai salah satu subjek hukum internasional. Sejauh ini masih terjadi perdebatan mengenai hal ini. Pihak yang menudukung mengatakan bahwa jumlah MNCs yang terus meningkat serta perannya yang besar membuat MNCs memerlukan sebuah status untuk menjadi pemegang hak dan kewajiban menurut hukum internasional. hal itu dianggap mungkin jika melihat status MNCs sebagai subjek dalam hukum nasional.

Sedangkan pihak yang menolak beralasan bahwa memberikan international legal personality pada MNCs akan menimbulkan kekhawatiran negara-negar karena hal itu berarti memberikan kedudukan yang setara dengan negara-negara tersebut.

Penulis sendiri beranggapan bahwa Multinational Corporation tidak perlu memiliki International Legal Personality. Apabila mengkaji lebih lanjut tentang subjek-subjek hukum internasional lainnya, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa semuanya memiliki satu kriteria sebagai subjek hukum internasional yang sama, yaitu merupakan pemilik kepentingan-kepentingan yang dilindungi oleh hukum internasional. Kepentingan yang menyangkut masyrakat dunia internasional seperti, HAM, perdamaian dan keamanan global.

MNCs hanya dianggap sebagai sebuah entitas yang mewakili kepentingan segelintir orang dan bersifat profit motif. Apabila dia dijadikan sebagai salah satu subjek hukum internasional maka dia memilki kedudukan yang sama dengan negara-negara di dunia dan hal itu dikhawatirkan akan membuat MNCs mengajukan gugatan-gugatan yang melawan hukum negara. Perlu diingat bahwa beberapa ahli masih menempatkan negara sebagai subjek hukum internasional dengan hak dan kewajiban yang penuh.

Pendapat penulis diatas bukan berarti menganggap MNCs tidak penting dalam hukum internasional namun statusnya cukup sebagai objek. Menanggapi kekhawatiran mengenai banyaknya pelanggaran yang dilakukan MNCs terhadap HAM dan alam, maka penulis melihat perlu adanya peraturan yang jelas mengenai kewajiban-kewajiban MNCs oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai sebuah lembaga yanga telah diakui secara internasional sebagai penjaga perdamain dunia. Dan yang tak kalah penting adalah peran World Trade Organization sebagai lembaga dagang dunia dengan negara dan MNCs sebagai anggotanya.

Hal-hal mengenai kewajiban MNCs tersebut umunya memfokuskan pada pelanggaran perusahaan terhadap: HAM, peraturan tenaga kerja, standar perlindungan lingkungan hidup, factory emission standards, health and safety standards, perlindungan konsumen, product liability, dan/atau tentang anti monopoli dan praktik bisnis curang.

Selama ini kewajiban dan tanggung jawab MNCs sudah diatur dalam hukum nasional, hanya saja beberapa alasan ekonomi menyebabkan pemerintah suatu negara melonggarkan peraturan mereka. Misalnya saja yang terjadi di banyak negara berkembang, demi meningkatkan jumlah investasi asing, mereka turut melegalkan praktek-praktek yang mengarah pada pelanggaran HAM dan pengerusakan lingkungan.

Good Corporate Governance and Corporate Social Responsibility

Pada tahun 1999, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menggulirkan Global Compact dan dokumen PBB tentang tanggung jawab MNCs terhadap HAM yang baru disahkan pada tahun 2003. maka konsep Corporate Social Responsibilities (CSR) sekarang merupakan bagian pedoman melaksanakan Good Corporate Governance (GCG). Sekarang, masalah etika bisnis dan akuntabilitas bisnis makin mendapat perhatian masyarakat di beberapa negara maju, yang biasanya sangat liberal dalam menghadapi perusahaan-perusahaannya, mulai terdengar suara bahwa karena self-regulation terlihat gagal, maka diperlukan peraturan (undang-undang) baru yang akan memberikan higher standards for corporate pratice dan tougher penalties for executive misconduct[2]. Global Compact terdiri dari sepuluh asas: dua di bidang HAM:

1. Business are asked to support and respect the protection of international human rights within their sphere of influence

2. Make sure their own corporations are not complicit in human right abuses.

empat di bidang standar tenaga kerja (no. 3-6), tiga di bidang lingkungan hidup (no. 7-9), dan satu di bidang anti-korupsi (no.10; masuk tahun 2004).

Wineberg dan Rudolph[3] memberi definisi CSR sebagai:The contribution that a company makes in society through its core business activities, its social investment and philanthropy programs, and its engagement in public polic”.

Dalam Kerangka Acuan (TOR) pertemuan ini antara lain dijelaskan bahwa Corporate Social ResponsibillitY (CSR) telah diterapkan oleh sejumlah perusahaan multinasional. Umumnya kepatuhan dan pelaksanaan CSR ini dikaitkan dengan program Community Development (CD) dan dalam kerangka pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development).

Sebenarnya CSR tidak saja berhubungan dengan CD, justru CSR harusnya lebih terkait pada GC. Sebagaimana kita tahu GC adalah sejumlah asas yang berlaku secara sukarela pada perusahaan yang mau turut serta dalam GC tersebut. Peningkatan CSR akan memperkuat pengaruh GC pada perilaku perusahaan (corporate behaviour).

Instrumen Hukum Internasional terhadap Multinational Corporation

  1. Code of Conduct dari Industri tertentu

Dilakukan secara sukarela, alasan utamanya adalah demi menjaga nama baik perusahaan mereka. Sifatnya tidak sekaku peraturan yang dibuat pemerintah. Misalnya pemebentukan aturan mengenai kebijakan perusahaan terhadap pengelolaan alam yang digagas oleh The Coalition for Environmentally Responsible Economics yang merumuskan the CERES Principles

  1. Perjanjian-perjanjian Internasional

Negara-negara terikat dalam sebuah perjanjian internasional, kemudian mereka membuat kebijakan untuk mengatur MNCs setelah mentransformasikan ketentuan hukum internasional tersebut ke dalam hukum nasional. Contohnya adalah The OECD Convention on Combating Bribery of Foreign Public Officials, merupakan sebuah kebijakan yang mencegah terjadinya praktek suap terhadap pegawai pemerintah yang sering dilakukan investor.

  1. Instrumen yang dikeluarkan oleh Organisasi Internasional

Seperti yang tercantum dalam The Norms on Responsibilities of Transnational Corporations and Other Bussiness Enterprises With Regard To Human Rights yang dikeluarkan PBB, setiap MNCs memiliki kewajiban untukmenjamin pemenuhan pelaksanaan HAM. MNCs diwajibkan untuk memasukkan seluruh ketentuan Norms dalam setiap kontrak,perjanjian, dan kesepakatan yang dibuat.

Kesimpulan

Penulis beranggapan bahwa untuk saat ini Multinational Corporation belum perlu memiliki International Legal Personality, hal tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa negara masih merupakan satu-satunya subjek hukum internasional yang memiliki hak dan kewajiban penuh. Keengganan negara-negara untuk mengakui MNCs sebagai entitas dengan kedudukan yang setara dengan mereka menyebabkan pemberian International Legal Personality kepada MNCs menjadi tidak efektif.

Namun hal tersebut tidak menuntup kemungkinan suatu saat akan ada subjek hukum internasional yang baru, yaitu Multinational Corporation. Sebelum hal itu bisa terwujud, diperlukan peraturan-peraturan dan instrumen hukum internasional yang mampu mengurangi dan mencegah perilaku MNCs yang seringkali tidak bertanggung jawab.



[1] Mochtar Kusumaatmaja, “Pengantar Hukum Internasional”, Bandung, 1977, hal 68

[2] Lihat misalnya Christian Aid (Oktober 2004), “Submission to the Office of tne United Nations High Commissioner for Human Rights (UNHCR) – resposibilities of transnational corporatins and related business enterprises with regar to human rights”.

[3] Danette Wineberg and Phillip H. Rudolph (May 2004) “Corporate Social Responsibility – What Every In House Counsel Should Know”, dalam ACC Docket, hal. 72.

No comments: