November 18, 2008

Sebuah Studi Hukum Internasional: Perlukah MNCs Memiliki International Legal Personality ?

By: M. Nizar

Abstract

Multi National Corporations (MNCs) come to the world as a new actor beside of the other actors. MNCs have unique activity that sometimes inimical the rights of the people and environment. This potential inimical should be well defined- arranged by state. It means that MNCs should be an actor or subject of international law. There is old paradigm warn the MNCs to be a subject of international law. This old paradigm refuses because that paradigm is too interdependent to MNCs in all aspects. Economic problem of state makes MNCs always be an object that subject, and the impact of that is MNCs always break the rights of people and environment. So, MNCs should have international legal personality as a subject of international law.

Key Words: MNCs, International Legal Personality, Hukum Internasional



Pendahuluan

Terdapat sebuah perbedaan mendasar antara hukum publik internasional dan hukum privat internasional. Menurut Mochtar K., hukum publik internasional atau lebih dikenal dengan istilah hukum internasional (international law) adalah keseluruhan kaidah dan asas hukum yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara (hubungan internasional) yang bukan bersifat perdata. Sedangkan hukum privat internasional atau juga lebih dikenal dengan istilah hukum perdata internasional (private international law / conflicts of laws) adalah keseluruhan kaidah dan asas hukum yang mengatur hubungan perdata yang melintasi batas negara. Dengan perkataan laian hukum yang mengatur hubungan hukum perdata antara para pelaku hukum yang masing-masing tunduk pada hukum perdata (nasional) yang berlainan.[1]

Perbedaan mendasar diatas akan menjadi rujukan dasar pemikiran penulis dalam menganalisa “perlukah MNCs (Multi National Corporations) atau perusahaan multinasional memiliki International legal personality seperti halnya dengan subyek hukum internasional yang lain”. Sebelum menganalisa lebih dalam mengenai hal diatas, penulis ingin mengetahui lebih dahulu, apakah International legal personality itu? dimanakah posisi MNCs dalam hukum? Apakah dalam hukum internasional atau dalam hukum perdata internasional? Aktivitas apakah yang dilakukan MNCs dalam hubungan internasional? Lalu mengapa isu mengenai MNCs dan International legal personality diwacanakan? Pertanyaan mendasar di samping akan membawa punulis pada kesimpulan mengenai relevansi atau irelevansi MNCs terhadap Legal Personality.

Hal-hal mengenai MNCs menjadi pembicaraan hangat ketika aktivitas dalam hubungan internasional menjadi padat. Kepadatan itulah yang menimbulkan banyak aktor, diantaranya adalah negara (State), organisasi antar negara (Inter Government Organization), organisasi non pemerintah (Non Government Organization), perusahaan multinasional (Multinational Corporation), kesatuan lain selain negara (Red Cross International & Belligerent) hingga pada tataran individual. Diantara kesemua aktor (state dan non-state actors) tersebut, MNCs menjadi perhatian khusus bagi para penstudi hukum publik internasional. Aktor hubungan internasional selain MNCs diatas memiliki status International Legal Personality yang mengikat dirinya dalam hukum internasional yang dikonvensikan dalam pertemuan dan perjanjian internasional. Salah satu contohnya adalah ASEAN Charter yang telah memasukkan International Legal Personality sebagai bagian dari pasalnya. Sehingga ASEAN memiliki kekuatan atau telah menjadi subyek dalam hukum internasional. Lalu muncul pertanyaan kemudian yaitu, apakah prasyarat bagi sebuah aktor hubungan internasional untuk mendapatkan International Legal Personality? Melalui pendahuluan diatas akan membuka tabir pengetahuan penulis untuk mengetahui lebih lanjut mengenai perlu tidaknya MNCs memiliki status International Legal Personality dalam hukum internasional, mengingat MNCs juga memiliki sifat destruktif seperti halnya aktor hubungan internasional yang lain.

International Legal Personality: Definisi, Syarat, & Efek

International Legal Personality adalah status hukum yang sah di mata hukum internasional (HI) yang dimiliki oleh subyek HI. Subyek HI tersebut harus memiliki ketentuan khusus, yaitu subyek HI adalah harus pemegang kapasitas hak dan kewajiban berdasarkan HI.[2] Sehingga menjadi jelas bahwa syarat agar subyek HI memiliki International Legal Personality adalah memiliki kapasitas hak dan kewajiban. Apakah hak dan kewajiban itu? Setiap subyek dalam HI akan memiliki previledge tertentu yang merupakan haknya di mata HI maupun ICJ (International Court of Justice) dan akan melaksanakan kewajibannya sesuai dengan ketentuan yang diberikan berdasarkan HI. Tentunya kewajiban itu harus sesuai dengan kesepakatan antar subyek dalam sebuah konvensi ataupun perjanjian internasional lainnya.

Efek yang timbul dari adanya International Legal Personality tersebut adalah adanya kepastian hukum internasional bagi para subyek. Kepastian itu tentu sangat dibutuhkan untuk menjaga keadilan dalam tataran HI. Seperti pada kasus terbunuhnya Pangeran Bernadotte dari Swedia di Israel selagi menjalankan tugasnya sebagai anggota komisi PBB pada tahun 1958 memperlihatkan bahwa perlu adanya kepastian HI sebagai cara penyelesaian yang adil[3]. Kasus tersebut membuat PBB sebagai IGO (Intergovernmental Organization) meminta advisory opinion pada ICJ terhadap hak dan kewajibannya dalam HI. Merujuk pada Reparation for injuries suffered in the Service of the United Nations Case (1949) ICJ memperlihatkan bahwa secara nature status legal personality telah melekat pada PBB, sehingga PBB memiliki hak dan kewajiban dalam HI selanjutnya dapat mengajukan tuntutan / claim terhadap negara de facto & de jure / atau subyek HI lainnya dalam suatu sidang perkara HI. Bila terdapat subyek hubungan internasional atau entitas yang tidak memiliki International Legal Personality maka posisinya hanya sebagai obyek dari hukum internasional.

MNCs: Definisi, Aktivitas, & Posisi Dalam Hukum Internasional

Multi National Corporations atau Multi National Companies (MNCs) adalah sebuah atau beberapa entitas yang melakukan kegiatan usaha melalui cabang-cabang dan anak-anak perusahaannya di seluruh dunia (terutama di negara berkembang) dimana kantor pusatnya terletak di negara maju.[4] Ketika berkembangnya pemikiran ekonomi liberal, MNCs yakini sebagai salah satu mesin penggerak utama yang dapat meningkatkan perekonomian negara-negara berkembang atau maju.[5] Tetapi kemudian muncul permasalahan mendasar yaitu apakah memang begitu adanya? Pemikiran ekonomi yang lain yaitu kaum merkantilisme melihat bahwa kedatangan MNCs disebuah negara terutama negara berkembang hanya akan menimbulkan masalah-masalah bagi host country. Masalah itu antara lain yaitu, menunduknya host country kepada MNCs karena alasan ekonomi, terdapat kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh eksploitasi yang tidak bertanggung jawab, kalah bersaingnya perusahaan lokal, dan lemahnya hukum nasional yang mampu mengatasi problem MNCs dengan host country.

Secara ekonomi, negara berkembang butuh peningkatan ekonomi melalui peningkatan FDI (Foreign Direct Investment) maupun jenis derivatif investasi lainnya. Sehingga atas alasan ekonomi yang kuat itulah maka host country memberikan keleluasan atas kegiatan usaha yang dilakukan oleh MNCs tersebut. Kemudian terjadi persinggungan atau konflik secara mendasar dan bahkan dapat pula melanggar hak-hak warga sipil seperti pada kasus kebocoran gas di India yang menewaskan ribuan orang.

MNCs merupakan obyek dalam hukum internasional. MNCs hingga saat ini belum ditetapkan sebagai pemegang kapasitas hak dan kewajiban dalam hukum internasional. Ketakutan berlebihan diperlihatkan oleh sebagian negara terhadap kemungkinan MNCs akan memiliki status yang sama dengan negara dalam hukum internasional. Jika MNCs memiliki status yang sama tersebut maka dengan logis MNCs akan menjadi entitas legal dalam sebuah konvensi dan perjanjian internasional setingkat negara. Lalu muncul permasalahan selanjutnya yaitu, Apakah hakikat dari MNCs? Penulis dengan ini berkeyakinan bahwa hukum diciptakan melalui mekanisme politik. Ekonomi tidak hidup dalam ruang hampa politik. Maka hakikat sejati dari MNCs adalah sebuah entitas yang dijalankan oleh sekelompok orang yang mampu mempengaruhi kondisi politik dan ekonomi suatu negara-negara. Jikalau memang begitu maka selayaknya MNCs memiliki status yang sama dengan negara dalam hukum internasional. Negara, Palang Merah Internasional, belligerent, hingga PBB merupakan entitas yang dijalankan oleh sekelompok orang yang mampu mempengaruhi kondisi politik internasional. Artinya bahwa MNCs walaupun berbeda bentuk dengan subyek hukum internasional lainnya dengan logika diatas maka tepat untuk dijadikan subyek dan bukan obyek dalam hukum internasional, mengingat bahwa MNCs juga memiliki sifat destruktif yang aktif seperti subyek.

MNC Menuju International Legal Personality: Sebuah Harapan Dalam Hukum Internasional

Aktivitas yang dilakukan oleh MNCs sudah menunjukkan tanda-tanda modernitas. Globalisasi kapitalisme telah merubah wajah dunia. Negara dan MNCs memiliki hubungan kental di era kapitalisme global yang modern. Muncul sebuah wacana untuk menilik lebih jauh kegiatan MNCs yang dilihat sebagai pengamat memiliki andil besar dalam pergerakan hubungan internasional. Pergerakan hubungan internasional ini juga memperlihatkan adanya hubungan yang tidak hanya tentram melainkan terjadi banyaknya gesekan-gesekan panas. Maka perlu adanya payung hukum internasional yang jelas dalam penyelesaian kasus-kasus yang melibatkan negara dengan MNCs. Menurut Montevideo Convention on Rights and Duties of States pasal 1 tahun 1933, negara dapat dikatakan subyek hukum internasional bila memenuhi seluruh syarat, yaitu: memiliki populasi disuatu teritori, wilayah/teritori yang jelas, pemerintahan, dan memiliki kapasitas berhubungan dengan negara lain.[6] Tetapi dunia telah berubah sejak tahun 1933.

MNCs memiliki peran yang semakin dinamis di era global ini. Negara-negara yang menginginkan adanya pertumbuhan ekonomi yang pesat menjadi ketergantungan terhadap kegiatan usaha MNCs. Bahkan negara yang berstatus host country menyediakan payung hukum yang lunak bagi perkembangan liar MNCs. Malahan, MNCs turut andil dalam mempengaruhi agenda-agenda kebijakan dalam negeri suatu negara terkait masalah FDI dan produk derivatif investasi lainnya atau masalah lainnya. Sejumlah pengamat melihat bahwa MNCs memiliki kapasitas dalam berhubungan erat dengan negara. Artinya bahwa kedudukan negara yang memiliki status dalam hukum internasional adalah sama dengan MNCs dalam konteks hubungan kerjasama. Mungkin kita bisa mengatakan bahwa seorang CEO dari sebuah MNC memiliki kapasitas sebagai pemerintah, karena CEO yang mengelola MNCs raksasa kadang-kadang mampu untuk mendikte kebijakan nasional suatu host country.[7] Karena MNCs juga memiliki kapasitas secara politik dan ekonomi dalam suatu interaksi hubungan internasional, maka selayaknya bahwa MNCs disetarakan oleh negara dengan memiliki status International Legal Personality.

Tetapi banyak negara menolak ide yang diberikan diatas dengan asumsi bahwa jika MNCs diberi International Legal Personality, maka MNCs memiliki kapasitas untuk menuntut negara secara hukum internasional. Inilah yang tidak diinginkan oleh suatu negara yang memiliki hubungan ketergantungan yang kuat terhadap suatu MNCs. Akan tetapi terdapat pemecahan lainnya yaitu pemberian hak-hak terbatas dan kewajiban penuh sesuai kesepakatan pada konvensi-konvensi dan perjanjian-perjanjian internasional yang mengatur masalah keadilan sipil dan lingkungan hidup. Negara sebagai aktor utama yang sangat berpengaruh dalam hukum internasional masih skeptis jika MNCs masuk sebagai subyek hukum internasional. Merujuk pada pengertian hukum privat internasional dan hukum publik internasional yang diberikan diawal tulisan, bahwa paradigma lama mengenai MNCs masih mendominasi. MNCs menurut paradigma lama ditempatkan sebagai pihak yang berkontrak dan diatur dalam hukum privat internasional. Kedudukan MNCs sebagai pihak dalam kontrak, dilihat sebagian pengamat sebagai langkah awal MNCs untuk tidak melaksanakan kewajiban secara penuh karena status hukum yang lemah. Oleh karena itu, telah muncul terobosan baru untuk mengontrol tindak lanjut dari MNCs oleh PBB.

PBB dalam hal ini berusaha untuk menjaga norms yang akan selalu ada dalam kontrak yang dibuat oleh MNCs kepada subyek hukum internasional agar terdapat kesadaran penuh dari MNCs untuk menghormati setiap keadilan yang dimiliki oleh sipil dan lingkungan hidup. Selain dari pada itu, tuntutan lebih keras digaungkan oleh kebanyakan pengamat untuk menciptakan sistem akuntabilitas MNCs terhadap hak-hak sipil dan lingkungan hidup. Oleh karena itu, muncul model good corporate governance dan corporate social responsibilities terhadap MNCs sebagai upaya dalam menjamin kepastian dan keadilan bagi sosial dan alam.

Tetapi penulis tetap berkeyakinan bahwa MNCs adalah entitas yang tidak bisa hidup dalam ruang hampa politik dan ekonomi sekaligus memiliki sifat destruktif potensial yang dapat dibuktikan dari banyaknya kasus, salah satu contohnya adalah pada kasus perusakan lingkungan hidup di Irian Jaya Indonesia oleh Freeport corp. Sekalipun bersifat kasuistik, tetap saja itu adalah kasus yang berpotensi terjadi di berbagai belahan bumi lainnya. Sehingga penulis berkeyakinan bahwa lebih baik MNCs menjadi subyek dalam hukum internasional yang memiliki status international legal personality agar terdapat payung hukum yang kuat dalam menjaga keadilan dan kepastian hukum. Karena jika demikian, maka MNCs dapat dikontrol hak dan kewajibannya agar potensi destruktifnya bisa diminimalisir.

Negara berkembang sebaiknya melakukan berbagai upaya untuk mengurangi hegemoni MNCs agar tidak terlalu bergantung pada MNCs. Penguatan pada sektor pengusaha lokal dan payung hukum nasional yang ketat diharapkan mampu untuk mencegah tindakan destruktif dari MNCs baik yang terlihat maupun tidak terlihat. Sekalipun begitu perlu untuk ditambahkan payung hukum internasional pada ICJ sebagai cara yang kuat dalam menuntut setiap tindakan destruktif MNCs yang selalu menuntut hak daripada kewajibannya.

Kesimpulan

MNCs hadir dalam hubungan internasional tentu tidak hanya membawa kebaikan dalam segi ekonomi, tetapi juga membawa permasalahan dasar yang menyentuh hak-hak sipil, ekonomi hingga lingkungan hidup. Dari pemikiran yang telah dibangun diatas maka penulis berkesimpulan bahwa MNCs segera untuk disahkan menjadi subyek hukum internasional agar terjadi suatu kepastian dan keadilan hukum di kemudian hari jika terjadi pelanggaran hak-hak yang dilakukan oleh MNCs. Paradigma lama yang terlalu state centric malah akan memenangkan MNCs sebagai obyek yang tidak terlalu concern terhadap tanggung jawab dan akuntabilitas korporasi meskipun norms telah diletakkan sebagai dasar kontrak dalam kegiatan usaha MNCs oleh PBB.



* Penulis adalah mahasiswa S1 Ilmu Hubungan Internasional mengambil mata kuliah Hukum Internasional Universitas Airlangga Surabaya.

[1] Prof. DR. Mochtar K., SH, LLM., Pengantar Hukum Internasional, Buku 1, Bagian Umum, Bina Cipta, Hal: 1.

2 Iman Prihandono, Status Dan Tanggung Jawab Multi National Companies (MNCs) Dalam Hukum Internasional, imanprihandono.wordpress.com, Hal: 4, Diakses: 6 Oktober 2008, Pukul: 10.00 WIB.

[3] Mochtar K., op cit. Hal: 73.

[4] Nancy L. Mensch, dikutip dari imanprihandono.wordpress.com, op cit.

[5] Robert Jackson & George Sorensen, Pengantar Ilmu Hubungan Internasional, Pustaka Pelajar, Hal: 264.

[6] Dikutip dari Miranda Husein, View: Holding Multinational Corporations Accountable, www.dailytimes.com.pk, Diakses: 6 Oktober 2008, Pukul: 09.30 WIB.

[7] Ibid.

No comments: